Oleh: Fatkur Rohman (Penyuluh Agama Islam KUA Kecamatan Singaran Pati, Kota Bengkulu)
IPARI KOTA BENGKULU – Musibah robohnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny meninggalkan duka mendalam bagi seluruh umat Islam.
Tragedi ini menggetarkan nurani bangsa. melihat dalam data Wikipedia : 167 santri terjebak, 67 di antaranya wafat, dan 158 berhasil ditemukan selamat. Dari jumlah tersebut, 14 santri masih menjalani perawatan di rumah sakit, 89 telah diperbolehkan pulang, dan satu orang dirujuk ke Mojokerto untuk perawatan lanjutan.
Duka ini bukan hanya milik keluarga korban, tetapi milik kita semua, umat yang peduli pada masa depan pendidikan agama dan keselamatan para penuntut ilmu.
Namun di tengah kesedihan itu, ada satu hal penting yang harus kita jaga bersama yaitu lisan dan jari kita di media sosial.
Musibah bukanlah ruang untuk berdebat, apalagi menebar komentar pedas dan tuduhan tanpa dasar. Saat keluarga korban masih berduka, komentar negatif di dunia maya bisa menjadi luka baru yang lebih dalam. Padahal Rasulullah ﷺ telah m engingatkan:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam,”
(HR. Bukhari & Muslim).
Kita perlu mengingat bahwa setiap kata yang kita ucapkan dan setiap tulisan yang kita sebar akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Ujian yang menimpa saudara kita sejatinya juga menjadi ujian bagi iman kita, apakah kita memilih untuk menambah luka, atau menguatkan dengan doa.
Beberapa hari lalu, seorang kawan lama bertanya kepada saya,
“Kang, bagaimana pandangan panjenengan tentang musibah pesantren itu?”
Saya terdiam sejenak, lalu menjawab pelan,
“Ini bukan saatnya mencari siapa yang salah.
Ini saatnya kita semua bermuhasabah. Dari pengelola, pemerintah, kontraktor, hingga masyarakat tentu semuanya harus mengambil ibroh.
Agar kita lebih peduli pada pembangunan lembaga agama, memastikan keselamatan, dan menumbuhkan empati bersama. Jangan sampai kita hanya hadir setelah musibah, tapi absen ketika dibutuhkan dalam prosesnya.”
Teman saya hening sejenak, lalu menjawab lirih.
“Benar Kang, mungkin ini teguran agar kita lebih peka.”
Ucapan sederhana itu menggugah hati saya. Betapa sering kita baru tersentuh setelah bencana, padahal kesempatan untuk mencegahnya sudah lama terbuka.
Karena itu, saya mengajak seluruh pimpinan yayasan keagamaan, pengasuh pondok pesantren, dan kepala sekolah yang tengah membangun atau memiliki bangunan bertingkat agar segera memeriksa kondisi bangunannya.
Pastikan struktur, fondasi, dan bahan bangunan benar-benar aman bagi para santri dan siswa.
Kita memang tidak bisa menolak takdir Allah, tetapi kita diwajibkan untuk berikhtiar dengan penuh tanggung jawab. Jangan biarkan tragedi serupa terjadi kembali hanya karena kelalaian manusia.
Bangunan agama seharusnya menjadi tempat yang menumbuhkan iman, bukan yang menguji iman akibat kurangnya kehati-hatian.
Mari kita berhenti menebar komentar yang menyakitkan. Gantilah dengan doa dan empati.
Daripada menyalahkan takdir, marilah kita merenung dan memperbaiki diri.
Daripada mencari siapa yang bersalah, marilah kita mencari apa yang bisa diperbaiki bersama.
Tragedi ini bukan sekadar soal bangunan yang runtuh, tetapi juga ujian untuk membangun kembali akhlak, kejujuran, dan tanggung jawab sosial kita.
Agar setiap amal dari mendirikan pesantren hingga menulis di media sosial senantiasa dilandasi niat tulus dan adab yang baik.
Mari kita panjatkan doa bersama:
“Ya Allah, ampuni mereka yang telah Engkau panggil, sembuhkan yang terluka, kuatkan hati keluarga yang berduka, dan jadikan kami hamba-Mu yang sabar, beradab, serta bertanggung jawab di tengah ujian ini.”
Pada akhirnya, dalam setiap musibah akan ada dua golongan manusia:
yang menguatkan dengan doanya, dan yang menyakitkan dengan lisannya.
Semoga kita termasuk golongan pertama yang menjaga lisan, menebar kasih, dan memperkuat iman.







