IPARI KOTA BENGKULU – Di tanah Bengkulu, sejak zaman nenek moyang kita, musyawarah selalu menjadi solusi jalan keluar terbaik. Orang tua di dusun dulu kalau ada persoalan, tidak lantas bakar lumbung atau merusak rumah tetangga.
Mereka kumpul di balai, duduk melingkar, sambil menyeruput kopi pahit, sedikit gula merah dan hisapan nipa tanpa beban, lalu kadang ada yang mengunyah sirih pinang. Kata demi kata keluar, kadang keras, tapi akhirnya damai juga. Itulah kearifan lokal kita: adat bersendikan mufakat, mufakat berakar pada kebersamaan.
Maka ketika kita turun ke jalan menyampaikan aspirasi, itu sesungguhnya meneruskan tradisi leluhur menyuarakan isi hati tanpa melukai.
Tujuan demo adalah agar suara rakyat terdengar, bukan agar etalase toko pecah, bukan pula agar motor terbakar dan rumah-rumah mewah dijarah hingga berakhir demo anarkis.
Di Bengkulu ada pepatah, “sekundang setungguan, sekedapan selingkaran,” artinya seberat apapun masalah, kalau kita pikul bersama dengan cara yang benar, insyaAllah ringan rasanya.
Begitu juga demo, kalau niatnya jernih, caranya santun, hasilnya akan membawa berkah bagi negeri.
Namun bila demo berubah jadi ajang menjarah, itu bukan lagi kearifan lokal, melainkan hilangnya martabat.
Sama saja dengan melupakan ajaran orang tua kita yang selalu menekankan adat sopan santun, malu sama tetangga, dan takut sama Allah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56).
Rasulullah SAW juga bersabda: “Seorang Muslim adalah yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mari kita tunjukkan pada Indonesia bahwa Bengkulu bisa jadi contoh. Demo bukan berarti anarkis.
Demo itu menyuarakan nurani, dengan kepala dingin, dengan semangat yang bersih. Karena suara lantang tanpa merusak jauh lebih mulia daripada tangan yang berbuat gaduh.
Di banyak sudut Bengkulu, para ketua masjid agar mengingatkan jamaahnya: jangan sampai demo menjadi alasan merusak.
Di mimbar Jum’at, khutbah bergema, mengajak umat untuk menjaga lisan, hati, dan tangan agar tidak melukai sesama. Masjid bukan hanya tempat shalat, tapi juga pusat menanamkan pesan kedamaian.
Ketua RT dan RW pun turun tangan mengajak warga duduk bersama di pos ronda, mengingatkan bahwa keamanan kampung adalah tanggung jawab bersama.
Jika ada yang ingin menyampaikan aspirasi, lakukan dengan tertib. Jangan sampai wajah kampung yang damai ternodai oleh tindakan segelintir orang yang tak bertanggung jawab.
Inilah kearifan kita jaga keluarga, jaga warga, jaga Indonesia. Jangan rusak negeri dengan amarah. Sebaliknya, mari kita warisi adat musyawarah dan kesantunan.
Ya Allah, jadikanlah Indonesia negeri yang aman, damai, penuh keberkahan, dan senantiasa dalam ampunan-Mu. Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin.
(Fatkur Rohman, S.Pd.I., M.Pd.I :
Penyuluh Agama Islam Non PNS KUA Kec. Singaran Pati Kota Bengkulu)