Sekolah Sepi Murid, Kok Bisa? Bukan Salah Sekolah Tapi Semua Mari Berbenah

News188 Dilihat

Oleh: Fatkur Rohman, M.Pd.I

Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kota Bengkulu

IPARI KOTA BENGKULU – “Sekarang murid makin sedikit ya?” “Iya, sekolah sepi. Tapi bukan karena sekolahnya jelek, muridnya yang nggak lahir.” “Lho, kok bisa?”
“Iya, banyak yang takut menikah… apalagi punya anak. Katanya sih, lebih tenang pelihara kucing.”

Dialog di atas bukan lelucon semata, tapi potret nyata perubahan sosial yang kini menghantam dunia pendidikan kita. Di Kota Bengkulu, sembilan sekolah negeri dilaporkan kekurangan murid baru. Di Rejang Lebong, sembilan SMP bahkan belum menerima satu pun siswa. Fenomena ini tak hanya menyentuh angka, tapi mengguncang dasar regenerasi bangsa.

Ini bukan sekadar soal kurang promosi sekolah, atau kualitas pengajaran. Lebih dalam dari itu: ini tentang krisis demografi angka pernikahan yang merosot, angka kelahiran yang menurun tajam, dan gaya hidup generasi muda yang mulai menjauhi konsep keluarga.

Fenomena ini sudah terjadi lebih dulu di Jepang. Negara maju itu telah menutup lebih dari 8.000 sekolah dalam dua dekade terakhir karena anak-anak tak lagi lahir. Pemerintah Prancis bahkan sibuk menawarkan insentif agar warganya mau menikah dan memiliki anak.

Apakah kita akan menyusul?

Padahal, budaya Nusantara dulu menjunjung tinggi nilai keluarga. Pepatah “Banyak anak, banyak rezeki” pernah menjadi pegangan. Namun kini, budaya tersebut tergantikan oleh rasa takut akan tanggung jawab dan biaya hidup. Lantas, mungkinkah ini pertanda kita sedang menjauh dari fitrah?

Sekolah negeri dan swasta kini sama-sama menghadapi “paceklik murid”. Ini bukan persaingan antarlembaga, tapi soal realitas: anak usia sekolah makin sedikit. Jika ini terus berlanjut, ruang kelas akan kosong, dana BOS menyusut, dan guru pun kehilangan beban mengajar.

“Jangan-jangan, nanti sekolah jadi museum,” celetuk seorang guru sambil tertawa getir.

Solusi Tak Bisa Tunggal

Masalah ini tak bisa dibebankan pada Dinas Pendidikan saja. Butuh pendekatan lintas sektor dan lintas nilai:

Dukcapil dan BKKBN perlu evaluasi program KB. Apakah masih relevan saat satu kelas kini hanya berisi lima siswa?

Dinas Sosial harus mengatasi hambatan sosial dan ekonomi yang membuat generasi muda enggan membangun rumah tangga.

Pemerintah daerah perlu memperkuat lembaga pendidikan yang sudah ada, bukan sekadar menambah bangunan baru yang sepi murid.

Menikah Bukan Ancaman, Tapi Awal Rezeki
Islam mengajarkan bahwa pernikahan adalah pintu terbukanya karunia Allah. Bukan beban, tapi keberkahan:

“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya…”
(QS. An-Nur: 32)

Pernikahan adalah awal regenerasi. Dari keluarga lahir anak-anak yang kelak memenuhi bangku sekolah, menjadi penerus bangsa, bahkan pembela agama. Maka jika kita ingin sekolah tetap hidup, hidupkanlah semangat membangun keluarga.

Sekolah sepi murid adalah cermin pergeseran nilai dan budaya. Ini bukan hanya krisis pendidikan, tapi krisis peradaban. Kita semua punya andil sebagai orang tua, calon orang tua, tokoh masyarakat, dan penyuluh agama untuk membalik arah.

Bukan dengan menyalahkan, tapi dengan mengingatkan: bahwa menikah, membentuk keluarga, dan membangun generasi adalah ibadah jangka panjang yang paling berdampak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *